Nilai Adalah Segalanya

Schlumberger mencari orang yang bisa melakukan apa yang disuruh secara ekstrim baik. Mencari orang yang dapat melakukan yang terbaik terhadap apa yang diperintahkan kepadanya dan mengikuti sistem yang ada

Banyak orang yang mengatakan bahwa IP (indeks prestasi) semasa kuliah itu penting. Tak kalah banyak pula yang mengatakan kalau IP itu, gak  sepenting itu juga kok. Kalau berpikir sederhana tentu dapat ditarik kesimpulan bahwa yang bilang penting adalah yang IPnya cukup memuaskan  sedangkan yang bilang tidak penting adalah yang IPnya tidak memuaskan. Dan saya jadi orang yang se-sederhana itu, setidaknya hingga pertengahan semester 6 kemarin. Di awal semester 6, saya bertekad untuk mendedikasikan diri untuk kuliah-tugas-praktikum-laporan-kuliah-tugas-praktikum-laporan, dengan target cuma satu : dapet IP 4.

Sengaja saya tidak mengambil tanggung jawab apapun di tempat lain. Menghentikan aktivitas-aktivitas yang sekiranya tidak membantu menaikkan IPK saya, termasuk kemahasiswaan-kepanitiaan yang jadi makanan sehari-hari sejak tingkat 2. Sengaja juga saya hanya mengambil 18 sks yang mana hanya 5 kuliah + 3 praktikum. Dari 5 kuliah itu pun ada satu kuliah non-prodi yang saya ambil karena dengar-dengar dosennya paket A.

Kuliah

Satu semester pun dijalani. Kuliah-nogkrong himpunan-pulang. Kurang lebih itu rutinitas saya selama 2 bulan pertama. 2 bulan berikutnya ditambah praktikum-laporan.   Hingga akhirnya datang masa-masa ujian dan masa-masa mahasiswa semester 6 sibuk mencari tempat kerja praktik, termasuk saya. Saat masa-masa ujian dan masa-masa mencari KP, saya mulai tersadar.

Target dan perkiraan saya di awal semester adalah : tidak perlu belajar susah payah kebut semalam dua malam begitu pekan ujian. Ternyata saya gagal. Setiap menjelang ujian saya selalu merasa kurang. Walaupun saya merasa sudah melakukan effort lebih – sangat lebih  daripada semester sebelumnya – dalam belajar, tetap saja saya merasa ada yang kurang, saya masih meragukan “bisa gak ya dapat A kuliah ini kuliah itu”. Kemana saja saya selama 5 bulan ini..

Setelah dipikir-pikir, saya sadar, dengan banyaknya waktu senggang tidak serta merta membuat waktu ini dihabiskan dengan produktif. Saya merasa walaupun jam belajar saya perminggu makin banyak, jam nyampah saya juga makin banyak bahkan lebih berkalilipat daripada jam belajar. Malah belakangan saya merasa aktivitas kemahasiswaan bukanlah hal yang harus ditinggalkan ketika kita harus fokus pada akademik…

*update* Dan kini saya menyadari arti keresahan tersebut. Semakin banyak belajar, semakin banyak kita mengerti, semakin banyak pula pertanyaan yang muncul dari diri kita. Saat SD saya mengerti mencari akar kuadrat dari 4. Waktu SMA saya penasaran berapa akar dari -1. Waktu tingkat satu saya tau hasil akar dari -1. Sekarang saya penasaran, dari mana datangnya bilangan imajiner itu alias akar -1? kok bisa kepikiran sih nyari akar -1 yang jelas-jelas ga ada bilangan (real) yang dikuadratkan sama dengan -1.

Semakin kita berjalan jauh, semakin penasaran, apakah ada yang lebih jauh? yap, dunia luas

KP

Kemudian musim ujian pun berlalu dan berganti dengan musim KP untuk mahasiswa tingkat 3. Saya ketar-ketir. Satu minggu sebelum Juni saya masih belum dapat tempat KP. Semakin saya menyesali waktu-waktu yang telah dihabiskan secara percuma 5 bulan ini. Gara-gara punya target IP maksimum, saya lupa kalau ada hal lain yang harus diperhatikan semacam KP ini. Banyak alasan yang bikin saya susah cari KP dan utamanya : sok sok idealis tapi bodoh. Loh kok bodoh? satu semester belajar doang masih aja bodoh.

Saya terlalu sok sok idealis mau cari tempat KP dengan topic based, tidak mau company based. Cari tempat yang sesuai dengan passion saya, yang sesuai dengan apa yang sudah saya dapatkan di bangku kuliah, yang sesuai dengan cita-cita saya saat kerja nanti. Tapi saya bodoh. Saya belum menemukan passion saya, saya gagal mendapat korelasi ilmu perkuliahan dengan apa yang diperlukan di dunia kerja, saya masih bingung dengan cita-cita saya. Akhirnya saya kebingungan cari tempat KP, walaupun akhirnya diterima di dua perusahaan, saat sudah kepepet sekitar akhir Mei. Bahkan untuk memilihnya pun maki bingung, karena saya belum tau tujuan saya.

Indeks Prestasi

Lulusan dengan predikat cumlaude, dia mendapatkannya susah, begitu juga dengan bebannya menyandang predikat cumlaude tersebut.

Berlanjut ke akademik, nilai-nilai pun bermunculan. Ah salah, bukan nilai, tapi indeks prestasi alias huruf yang probabilitas mendapat suatu indeks lebih dari 10%. Saya kecewa. Huruf yang muncul di website akademik tidak sesuai dengan harapan. Tak kuasa menahan kekecewaan, saya cuma lesu, saya merasa sudah melakukan yang terbaik tapi hasil belum dapat maksimal. Kemudian saya bercerita pada ibu saya yang berprofesi sebagai dosen dan adalah tamatan pendidikan doktoral.

Saya ceritakan tentang apa yang telah saya lakukan selama satu semester ini. Dan beliau dengan lapang juga menerimanya, tak memaksa saya mendapat target itu. Beliau juga bercerita tentang pengalamannya mewawancara calon dosen di universitasnya. Lulusan dengan predikat cumlaude, dia mendapatkannya susah, begitu juga dengan bebannya menyandang predikat cumlaude tersebut.  Saat sedang mewawancara, tentu ekspektasi pewawancara terhadap yang si A yang cumlaude lebih tinggi daripada si B yang tidak. Bila si A tidak memuaskan saat menjawab pertanyaan beliau, sedangkan si B menjawab dengan meyakinkan, tanpa ragu ibu saya memilih B. Padahal ini wawancara calon dosen loh, yang kata orang dosen itu pasti yang lebih pintar.

Nilai

Kemudian saya teringat dengan sebuah tumblr yang bercerita tentang proses seleksi magangers schlumberger. Yang diperbolehkan untuk mengapply hanyalah lulusan dengan IPK > 3,5 …. alasannya?

“…Tahukah kalian indikator paling mudah dari bentuk tanggung jawab kalian menjalankan tugas utama kalian? IPK. Kami mencari orang-orang yang bertanggung jawab. …” selengkapnya

Beberapa orang setelah melihat tulisan ini menjadi berhenti menyepelekan IP. Baguslah.  Tapi ada juga beberapa orang yang semakin dongak dengan IPK tingginya setelah melihat tulisan ini. Tapi yang dapat saya simpulkan dari tulisan ini cuma satu : Schlumberger butuhnya karyawan yang lulusnya cumlaude.

Ingat juga kan tulisan tentang pidato Erica Goldson, lulusan terbaik Coxsackie-Athens High School New York ?

“…Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.…” selengkapnya

Lalu kedua kisah tersebut saya hubungkan dan saya dapat kesimpulan bahwa : Schlumberger mencari orang yang bisa melakukan apa yang disuruh secara ekstrim baik. Mencari orang yang dapat melakukan yang terbaik terhadap apa yang diperintahkan kepadanya dan mengikuti sistem yang ada.

Dari blog Pak Rinaldi Munir juga saya mendapat banyak pelajaran. “Untuk hidup di dunia nyata seorang mahasiswa tidak bisa hanya berbekal nilai kuliah, namun dia juga memerlukan ketrampilan hidup semacam soft skill yang hanya didapatkan dari pengembangan diri dalam bidang non-akademis.”

Namun dari semua itu yang paling celaka adalah, orang-orang yang mengejar nilai, namun mengejar nilai dengan cara yang salah. Orang yang hanya melihat hasil, tanpa peduli proses. Tidak jarang juga saya temui orang seperti itu bahkan di kampus saya yang katanya terbaik bangsa. Bagaimana di luar sana? entahlah akan jadi panjang jika membahas keadaan yang paling celaka ini, semoga saya tidak termasuk di dalamnya.

Sadarlah kawan. Nilai adalah segalanya. Bukan nilai yang arti ke-3 dalam kbbi, tapi nilai dalam arti ke-5. Probabilitas kamu dapat nilai A bisa saja lebih dari 1:5 , tapi probabilitas kamu dapat nilai yang arti satunya lagi, jauh lebih sulit. Percayalah

One response to “Nilai Adalah Segalanya

Leave a comment